Kisah ini baru saja terjadi beberapa waktu yang lalu tepatnya pada bulan
Desember 2008, berawal dari kedatangan seorang musafir bernama, Ki
Bahar, asal, Blitar Jawa Timur, yang datang kerumah Penulis dan
memberikan secara langsung berupa mustika kepompong / mustika besi
kuning. Bagaimana semua ini bisa terjadi? Inilah kisah sebenarnya.
Seperti hari hari biasanya rumahku banyak sekali kedatangn pengemis atau orang orang yang meminta untuk sekedar bertahan hidup dan pada hari itu ada salah satu pengemis yang kondisinya sangat memprihatinkan datang sembari berkata "Minta sodakohnya untuk pulang kampung" terangnya.
Entah seperti ada dorongan bathin yang sangat kuat hingga pertama kali melihatnya hatiku penuh rasa iba untuk bisa membantunya.
"Kek makan lah dulu didalam" kataku.
"Terima kasih, masih menjalankan soum/ puasa" tambah si kakek.
Subhanalloh !!! Dengan kondisi miris dan sepertinya sangat lapar sekali ternyata pengemis ini masih punya hati bersih untuk melaksanakan arti puasa. Allohu akbar... aku jadi teringat akan pemahaman ilmu sufi lewat kupasan, Ibnu Athoilah, dalam kitabnya "Sesungguhnya berhati hatilah kepada peminta/ pengemis yang saat itu dalam keadaan menjalankan puasa. Kebanyakan pengemis seperti itu tak lain kecuali para ahli, Nauba’/ orang yang membawa rohmat dan celaka"
Lalu aku masuk dan mengambil sekedar uang untuknya " Kek tolong terimalah uang ini untuk beli baju dan ongkos pulang, supaya kakek bisa nyaman di mobil" setelah uang diterimanya sang kakek ini langsung menangis tersedu sedu sembari berkata lirih"Ya Alloh rohmatmu wis teko, sempurno jalanku inggon telung tahun" yang kurang lebih artinya "Ya Alloh rohmatmu sudah datang, sempurnalah jalan yang kutempuh selama tiga tahun"
Entah apa maksud dari perkataan si kakek tadi yang menyatakan telah sempurna perjalanannya selama kurun tiga tahun, yang pasti pada saat itu aku dipeluk erat sekali olehnya dan setelah suasana kesedihan sang kakek sudah mulai stabil, beliau langsung menyodorkan tiga biji mustika kepadaku, "Terimalah ini, kau berhak memilikinya" terang si kakek.
Aku terperanjat kaget dan buru buru mengembalikannya " Maaf kek aku memberi bukan karena minta imbalan". Sang kakek malah tertawa renyah dan balik bertanya "Sesungguhnya aku yang harus berterima kasih kepadamu nak? Karena kau telah menyelamatkan diriku selama ini dan perlu di ingat juga, mustika ini sudah beradaa tiga tahun lebih ditanganku sebagai saksi amanat yang harus aku selesaikan. Kini amanat itu sudah berakhir disini"
Nah, dari sinilah sang kakek mulai mengisahkan perjalanannya bersama mustika kepompong yang sekarang berada ditangan Penulis. Inilah kisah selengkapnya yang dituturkan langsung oleh ki Bahar.
Tujuh tahun aku hidup mengabdi sebagai tukang sapu di areal makam/ pesarean Sunan Ampel (salah satu dari tokoh Wali Songo) dan tiga tahun yang lalu aku bermimpi tiga malam berturut turut didatangi Kanjeng Sinuhun, maksudnya adalah Sunan Ampel.
Beliau datang menasehatiku dan menyuruhku agar cepat berziaroh ke makam Sulthan Hasanuddin Banten, "Jalanmu selanjutnya ada pada wasilahnya, maka cepatlah kau datang sembari berikan mustika kepompong ini padanya".
Mustika kepompong ini aku terima dimalam ke tiga dalam mimpiku, yaitu hanya satu biji mustika, dari kejadian itu baru aku merasa yakin bahwa mimpiku ini benar adanya dan hari itu juga aku pergi sebagai seorang musafir menuju daerah Banten.
Kisah perjalananku ternyata tidak semulus yang aku pikirkan, disamping diriku tidak membawa uang seperakpun kala itu, aku juga tidak tahu sama sekali yang namanya daerah Banten, sehingga dengan terpaksa aku melakukan pekerjaan yang semestinya tidak pernah aku lakukan yaitu jadi seorang pengemis.
Pekerjaan ini terus aku geluti dan pada akhirnya menjadi ketergantungan hidup. Pernah disuatu hari disaat aku sudah mengumpulkan uang sebanyak lebih dari empat puluh ribu, guna sebagai ongkos mobil menuju arah Banten, ternyata beberapa mobil yang aku naiki semuanya menolakku yang katanya badanku sangat bau, sehinnga baik kenet maupun penumpang lain ikut mengusirku.
Perjalanan ini akhirnya ku teruskan lewat berjalan kaki, namun demi sesuap nasi yang aku butuhkan, perjalan banyak tersendat dan memakan waktu lama yang mengakibatkan 7 bulan baru aku sampai di areal makam Kanjeng Sulthan Hasanudin Banten.
Disinilah lika liku baru aku hadapi, dimanapun aku ingin mengabdi dengan berbuat baik pada kebersihan areal setempat, di situ pula aku selalu di usirnya. Rasa tak kuat dengan lingkungan setempat membuat pikiranku sontak dan menjadi agak gila, untung ada salah satu warung kecil yang setiap hari memberiku nasi bekas orang makan yang menjadikan aku bertahan hidup.
Satu tahun dua bulan aku bertahan hidup diseputar areal masjid agung Banten dan suatu malam, Kanjeng Sinuhun Banten datang secara wujud nyata, dengan tersenyum anggun beliau berkata padaku" Inilah kenikmatan duniawi yang harus kau pikirkan akan segala manfaatnya, kau telah jauh dari manusia pada umumnya namun hatimu sangat dekat dengan Tuhan yang menciptakan dirimu sendiri. Sungguh berbahagialah dirimu yang menjadi rohmat dari jutaan manusia yang tidak selamat" Lanjutnya.
“Kini kau akan kuajari arti syiddah, wastasydid, wassyahadah/ semangat, berjuang dan memerdekakan diri sendiri dari arti hidup sebenarnya, namun sebelumnya mana titipan dari abi Ampel yang sudah diberikan kepadamu, berupa mustika kepompong"
Setelah kuberikan padanya, kanjeng sinuhun langsung bergumam lirih, mustika kepunyaan Cakra Adi Alam Cokro Aminoto( salah satu tokoh nasional= HOS, Cokro Aminoto) lalu beliau menyerahkan kembali mustika tersebut padaku sembari memberikan dua biji mustika lainnya yang bentuknya sama" Mustika kepompong".
"Dulu, Cokro Aminoto memiliki tiga biji mustika itu, (sambil tangan Kanjeng Sinuhun menuding pada tanganku yang sedang memegang mustika kepompong) Kini yang duanya lagi kuserahkan kepadamu. Sekarang belajarlah memahami arti mukhlis/ keikhlasan hati, dengan cara, Nauba’ bisyariatil af’alihi/ jadilah pengemis sebagai penutup jati diri sebenarnya, katakan pada setiap yang kau pinta, bahwa dirimu ingin pulang kampung dan apabila dari sekian banyak manusia ada diantara mereka yang memberikan lebih dengan takaran bisa untuk beli pakaian dari atas sampai bawah dan juga bisa dijadikan jalan pulang ke desamu, maka berikanlah semua mustika itu padanya, karena sesungguhnya hari itu juga perjalananmu telah khatam/ berakhir"
Setelah mohon diri, aku segera melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Kanjeng Sinuhun Hari demi hari aku jalani sebagai seorang peminta satu rumah kerumah yang lain. Ternyata mencari orang yang memperhatikan manusia miskin sepertiku teramat sulit, semua memandang pemberian selalu diukur dengan kondisi manusia yang sedang dihadapinya, seperti diriku misalnya, siapapun yang aku datangi akan memberiku dari nominal 100 sampai yang terbesar 2000 rupiah, dan cara ini aku jalani selama satu tahun lamanya.
Baru disaat aku datang kerumah ini (Penulis) ternyata Alloh SWT, menghatamkan perjalananku. Terima kasih nak. Itulah kisah penutup di akhir ceritanya.
Namun sebelum Ki Bahar pergi, aku bertanya satu hal padanya tentang tiga mustika yang kini ada ditanganku, apa manfaat dan kekuatan dari mustika ini sebenarnya? Ki Bahar pun menjawab, "Dimana mustika ini pernah dipegang oleh seorang politik, ya manfaatnya tak jauh dari sifat seperti itu, tidak mau dijatuhkan dalam kedudukan, pengen terus maju dan ternama, menjadikannya mudah dalam jabatan dan lain sebagainya. Hanya saja mustika ini harus di urus biar bisa dijadikan tameng yang kuat, ngomong ngomong kamu punya mustika yang kuat tidak? "terang sang kakek.
"Punya kek, yaitu berupa sejodoh batu merah delima pemberian Kanjeng Ratu Laut Kidul" terangku.
"Coba nanti malam kamu campur mustikamu satu tempat dengan mustika kepunyaan, HOS, Cokro Aminoto, apa yang terjadi besoknya"
Mungkin karena aku penasaran dengan ucapan Kki Bahar tadi, hari itu juga kedua mustika yang sudah menjadi milikku ini aku tempatkan satu wadah. Namun berhubung sore harinya aku berziaroh bersama seluruh santri Majlis Dzikir Jam’ul Ijazah, ke Pamijahan Tasik Jawa Barat, jadi aku tak bisa menyaksikan apa yang terjadi malam itu. Namun sesampainya aku pulang dari ziaroh, hatiku miris dibuatnya, ternyata kedua merah delimaku hancur berkeping keping.
Apa merah delimaku kalah atau ada kesalahan lain yang membuatnya hancur, semuanya tentunya tidak bisa kita pelajari secara pemahamn akal biasa, yang pasti sebuah kekuatan akan ada yang lebih tinggi sebagai satu cermin bahwa, apapun kesaktian pada akhirnya akan kembali ke asal, yaitu, yang menciptakannya Alloh SWT
Sebagai sosok seorang ilmu ladzuni yang bisa menguasi delapan bahasa, tentunya mustika kepompong sewajarnya dimiliki oleh tokoh besar seperti, HOS, Cokro Aminoto, pada kala itu, karena tak lain mustika ini bersumber dari Waliyulloh Kamil, Sulthan Hasanuddin Banten dan Sunan Ampel Denta, Jawa timur.
Juga sebelum dipegang oleh kedua wali ini mustika Cokro Aminoto, pernah dipegang oleh seorang sakti mandra guna sebelum zaman Wali Songo, yaitu, Pangeran Arya Panangsang Mbah Dewo Alam, asal dari gunung Srindil, Jawa Tengah, yang didapatnya dari Pangeran Aryo Jati Panglebur Bumi, dari gunung Sumbing, Magelang, Jawa Tengah.
Untuk jelasnya Penulis akan membeberkan silsilah secara transparan tentang asal usul mustika kepompong Cokro Aminoto, yang didapat dari Ki Bahar, Blitar, Jawa Timur, inilah asal usul selengkapnya.
Nabiyulloh Khidir AS, Nabiyulloh Musa AS, Syeikh Sanusi gunung mujarrob- Paku Alam Dwi Nata Galih Sempoyono,Pangeran Aryo Panglebur Bumi, Pangeran Arya Panangsang, Mbah Dewo Alam, Sunan Ampel Denta, Cokro Aminoto- (mulai dari sini pecah) yang satu diambil oleh Sunan Ampel kembali dan yang dua diambil oleh Sulthan Hasanuddin Banten, baru 2006- 2008 ketiga mustika ini dimiliki oleh Ki Bahar asal Blitar, Jawa Timur.
Semoga perjalanan Ki Bahar tadi membawa banyak pemahaman baru bagi para pembaca sekalian terutama dalam hal ikhlas, sabar dan perjuangan tinggi dalam menggapai apapun yang bersifat positif. Karena bagaimanapun perjalanan sebuah ilmu akan lebih afdhol dan pastinya akan menjadikan derajat agung bagi siapapun yang mau berusaha dan semangat juang tinggi.
Sumber : Misteri (Idris Nawawi).
Seperti hari hari biasanya rumahku banyak sekali kedatangn pengemis atau orang orang yang meminta untuk sekedar bertahan hidup dan pada hari itu ada salah satu pengemis yang kondisinya sangat memprihatinkan datang sembari berkata "Minta sodakohnya untuk pulang kampung" terangnya.
Entah seperti ada dorongan bathin yang sangat kuat hingga pertama kali melihatnya hatiku penuh rasa iba untuk bisa membantunya.
"Kek makan lah dulu didalam" kataku.
"Terima kasih, masih menjalankan soum/ puasa" tambah si kakek.
Subhanalloh !!! Dengan kondisi miris dan sepertinya sangat lapar sekali ternyata pengemis ini masih punya hati bersih untuk melaksanakan arti puasa. Allohu akbar... aku jadi teringat akan pemahaman ilmu sufi lewat kupasan, Ibnu Athoilah, dalam kitabnya "Sesungguhnya berhati hatilah kepada peminta/ pengemis yang saat itu dalam keadaan menjalankan puasa. Kebanyakan pengemis seperti itu tak lain kecuali para ahli, Nauba’/ orang yang membawa rohmat dan celaka"
Lalu aku masuk dan mengambil sekedar uang untuknya " Kek tolong terimalah uang ini untuk beli baju dan ongkos pulang, supaya kakek bisa nyaman di mobil" setelah uang diterimanya sang kakek ini langsung menangis tersedu sedu sembari berkata lirih"Ya Alloh rohmatmu wis teko, sempurno jalanku inggon telung tahun" yang kurang lebih artinya "Ya Alloh rohmatmu sudah datang, sempurnalah jalan yang kutempuh selama tiga tahun"
Entah apa maksud dari perkataan si kakek tadi yang menyatakan telah sempurna perjalanannya selama kurun tiga tahun, yang pasti pada saat itu aku dipeluk erat sekali olehnya dan setelah suasana kesedihan sang kakek sudah mulai stabil, beliau langsung menyodorkan tiga biji mustika kepadaku, "Terimalah ini, kau berhak memilikinya" terang si kakek.
Aku terperanjat kaget dan buru buru mengembalikannya " Maaf kek aku memberi bukan karena minta imbalan". Sang kakek malah tertawa renyah dan balik bertanya "Sesungguhnya aku yang harus berterima kasih kepadamu nak? Karena kau telah menyelamatkan diriku selama ini dan perlu di ingat juga, mustika ini sudah beradaa tiga tahun lebih ditanganku sebagai saksi amanat yang harus aku selesaikan. Kini amanat itu sudah berakhir disini"
Nah, dari sinilah sang kakek mulai mengisahkan perjalanannya bersama mustika kepompong yang sekarang berada ditangan Penulis. Inilah kisah selengkapnya yang dituturkan langsung oleh ki Bahar.
Tujuh tahun aku hidup mengabdi sebagai tukang sapu di areal makam/ pesarean Sunan Ampel (salah satu dari tokoh Wali Songo) dan tiga tahun yang lalu aku bermimpi tiga malam berturut turut didatangi Kanjeng Sinuhun, maksudnya adalah Sunan Ampel.
Beliau datang menasehatiku dan menyuruhku agar cepat berziaroh ke makam Sulthan Hasanuddin Banten, "Jalanmu selanjutnya ada pada wasilahnya, maka cepatlah kau datang sembari berikan mustika kepompong ini padanya".
Mustika kepompong ini aku terima dimalam ke tiga dalam mimpiku, yaitu hanya satu biji mustika, dari kejadian itu baru aku merasa yakin bahwa mimpiku ini benar adanya dan hari itu juga aku pergi sebagai seorang musafir menuju daerah Banten.
Kisah perjalananku ternyata tidak semulus yang aku pikirkan, disamping diriku tidak membawa uang seperakpun kala itu, aku juga tidak tahu sama sekali yang namanya daerah Banten, sehingga dengan terpaksa aku melakukan pekerjaan yang semestinya tidak pernah aku lakukan yaitu jadi seorang pengemis.
Pekerjaan ini terus aku geluti dan pada akhirnya menjadi ketergantungan hidup. Pernah disuatu hari disaat aku sudah mengumpulkan uang sebanyak lebih dari empat puluh ribu, guna sebagai ongkos mobil menuju arah Banten, ternyata beberapa mobil yang aku naiki semuanya menolakku yang katanya badanku sangat bau, sehinnga baik kenet maupun penumpang lain ikut mengusirku.
Perjalanan ini akhirnya ku teruskan lewat berjalan kaki, namun demi sesuap nasi yang aku butuhkan, perjalan banyak tersendat dan memakan waktu lama yang mengakibatkan 7 bulan baru aku sampai di areal makam Kanjeng Sulthan Hasanudin Banten.
Disinilah lika liku baru aku hadapi, dimanapun aku ingin mengabdi dengan berbuat baik pada kebersihan areal setempat, di situ pula aku selalu di usirnya. Rasa tak kuat dengan lingkungan setempat membuat pikiranku sontak dan menjadi agak gila, untung ada salah satu warung kecil yang setiap hari memberiku nasi bekas orang makan yang menjadikan aku bertahan hidup.
Satu tahun dua bulan aku bertahan hidup diseputar areal masjid agung Banten dan suatu malam, Kanjeng Sinuhun Banten datang secara wujud nyata, dengan tersenyum anggun beliau berkata padaku" Inilah kenikmatan duniawi yang harus kau pikirkan akan segala manfaatnya, kau telah jauh dari manusia pada umumnya namun hatimu sangat dekat dengan Tuhan yang menciptakan dirimu sendiri. Sungguh berbahagialah dirimu yang menjadi rohmat dari jutaan manusia yang tidak selamat" Lanjutnya.
“Kini kau akan kuajari arti syiddah, wastasydid, wassyahadah/ semangat, berjuang dan memerdekakan diri sendiri dari arti hidup sebenarnya, namun sebelumnya mana titipan dari abi Ampel yang sudah diberikan kepadamu, berupa mustika kepompong"
Setelah kuberikan padanya, kanjeng sinuhun langsung bergumam lirih, mustika kepunyaan Cakra Adi Alam Cokro Aminoto( salah satu tokoh nasional= HOS, Cokro Aminoto) lalu beliau menyerahkan kembali mustika tersebut padaku sembari memberikan dua biji mustika lainnya yang bentuknya sama" Mustika kepompong".
"Dulu, Cokro Aminoto memiliki tiga biji mustika itu, (sambil tangan Kanjeng Sinuhun menuding pada tanganku yang sedang memegang mustika kepompong) Kini yang duanya lagi kuserahkan kepadamu. Sekarang belajarlah memahami arti mukhlis/ keikhlasan hati, dengan cara, Nauba’ bisyariatil af’alihi/ jadilah pengemis sebagai penutup jati diri sebenarnya, katakan pada setiap yang kau pinta, bahwa dirimu ingin pulang kampung dan apabila dari sekian banyak manusia ada diantara mereka yang memberikan lebih dengan takaran bisa untuk beli pakaian dari atas sampai bawah dan juga bisa dijadikan jalan pulang ke desamu, maka berikanlah semua mustika itu padanya, karena sesungguhnya hari itu juga perjalananmu telah khatam/ berakhir"
Setelah mohon diri, aku segera melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Kanjeng Sinuhun Hari demi hari aku jalani sebagai seorang peminta satu rumah kerumah yang lain. Ternyata mencari orang yang memperhatikan manusia miskin sepertiku teramat sulit, semua memandang pemberian selalu diukur dengan kondisi manusia yang sedang dihadapinya, seperti diriku misalnya, siapapun yang aku datangi akan memberiku dari nominal 100 sampai yang terbesar 2000 rupiah, dan cara ini aku jalani selama satu tahun lamanya.
Baru disaat aku datang kerumah ini (Penulis) ternyata Alloh SWT, menghatamkan perjalananku. Terima kasih nak. Itulah kisah penutup di akhir ceritanya.
Namun sebelum Ki Bahar pergi, aku bertanya satu hal padanya tentang tiga mustika yang kini ada ditanganku, apa manfaat dan kekuatan dari mustika ini sebenarnya? Ki Bahar pun menjawab, "Dimana mustika ini pernah dipegang oleh seorang politik, ya manfaatnya tak jauh dari sifat seperti itu, tidak mau dijatuhkan dalam kedudukan, pengen terus maju dan ternama, menjadikannya mudah dalam jabatan dan lain sebagainya. Hanya saja mustika ini harus di urus biar bisa dijadikan tameng yang kuat, ngomong ngomong kamu punya mustika yang kuat tidak? "terang sang kakek.
"Punya kek, yaitu berupa sejodoh batu merah delima pemberian Kanjeng Ratu Laut Kidul" terangku.
"Coba nanti malam kamu campur mustikamu satu tempat dengan mustika kepunyaan, HOS, Cokro Aminoto, apa yang terjadi besoknya"
Mungkin karena aku penasaran dengan ucapan Kki Bahar tadi, hari itu juga kedua mustika yang sudah menjadi milikku ini aku tempatkan satu wadah. Namun berhubung sore harinya aku berziaroh bersama seluruh santri Majlis Dzikir Jam’ul Ijazah, ke Pamijahan Tasik Jawa Barat, jadi aku tak bisa menyaksikan apa yang terjadi malam itu. Namun sesampainya aku pulang dari ziaroh, hatiku miris dibuatnya, ternyata kedua merah delimaku hancur berkeping keping.
Apa merah delimaku kalah atau ada kesalahan lain yang membuatnya hancur, semuanya tentunya tidak bisa kita pelajari secara pemahamn akal biasa, yang pasti sebuah kekuatan akan ada yang lebih tinggi sebagai satu cermin bahwa, apapun kesaktian pada akhirnya akan kembali ke asal, yaitu, yang menciptakannya Alloh SWT
Sebagai sosok seorang ilmu ladzuni yang bisa menguasi delapan bahasa, tentunya mustika kepompong sewajarnya dimiliki oleh tokoh besar seperti, HOS, Cokro Aminoto, pada kala itu, karena tak lain mustika ini bersumber dari Waliyulloh Kamil, Sulthan Hasanuddin Banten dan Sunan Ampel Denta, Jawa timur.
Juga sebelum dipegang oleh kedua wali ini mustika Cokro Aminoto, pernah dipegang oleh seorang sakti mandra guna sebelum zaman Wali Songo, yaitu, Pangeran Arya Panangsang Mbah Dewo Alam, asal dari gunung Srindil, Jawa Tengah, yang didapatnya dari Pangeran Aryo Jati Panglebur Bumi, dari gunung Sumbing, Magelang, Jawa Tengah.
Untuk jelasnya Penulis akan membeberkan silsilah secara transparan tentang asal usul mustika kepompong Cokro Aminoto, yang didapat dari Ki Bahar, Blitar, Jawa Timur, inilah asal usul selengkapnya.
Nabiyulloh Khidir AS, Nabiyulloh Musa AS, Syeikh Sanusi gunung mujarrob- Paku Alam Dwi Nata Galih Sempoyono,Pangeran Aryo Panglebur Bumi, Pangeran Arya Panangsang, Mbah Dewo Alam, Sunan Ampel Denta, Cokro Aminoto- (mulai dari sini pecah) yang satu diambil oleh Sunan Ampel kembali dan yang dua diambil oleh Sulthan Hasanuddin Banten, baru 2006- 2008 ketiga mustika ini dimiliki oleh Ki Bahar asal Blitar, Jawa Timur.
Semoga perjalanan Ki Bahar tadi membawa banyak pemahaman baru bagi para pembaca sekalian terutama dalam hal ikhlas, sabar dan perjuangan tinggi dalam menggapai apapun yang bersifat positif. Karena bagaimanapun perjalanan sebuah ilmu akan lebih afdhol dan pastinya akan menjadikan derajat agung bagi siapapun yang mau berusaha dan semangat juang tinggi.
Sumber : Misteri (Idris Nawawi).